LPPM | IAIN Pekalongan

P3M STAIN Pekalongan Adakan Training for Community Organizer

E-mail Print PDF

p3m tco 2

Pekalongan - Selama 800 tahun Islam datang ke Nusantara, masyarakat tidak mengalami perubahan signifikan. Namun, setelah penyebaran Islam dilakukan oleh Walisongo, hanya dalam waktu 40 tahun terjadi perubahan besar. Walisongo mampu meleburkan kebenaran dari Arab dengan budaya lokal. Apa yang dilakukan Walisonggo perlu menjadi inspirasi bagi penerima bantuan program dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat, demikian ungkap Dr. Anis Masykur, MA., dalam sambutan pembukaan training di Hotel Dafam Pekalongan, Ahad (8/11/2015).

Dihadapan penerima program pengabdian Diktis tahun 2015, Zona Jawa Tengah, Anis, yang mewakili Kasubdit Penelitian menyatakan bahwa program pemberdayaan masyarakat yang diberikan kepada pada dosen, dalam rangka untuk memaksimalkan potensi intelektual dosen, dengan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Program ini juga sebagai upaya untuk membumikan dosen yang selama ini “bertengger di atas menara gading.” “Konsep manunggaling kawula gusti perlu diinternalisasi sebagai wujud prinsip integralisasi antara pendidikan dan realitas sosial menuju perubahan sosial” sambut Anis.

Selaku panitia, kepala P3M STAIN Pekalongan, Maghfur Ahmad, menyampaikan bahwa ada tiga isu utama di bidang pengabdian kepada masyarakat, yaitu program-program pemberdayaan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan umat, kurang menjawab problem sosial keagamaan dan miskin teoritisasi. Dalam konteks inilah, peningkatan mutu dan sumber daya manusia melalui training CO, menjadi penting. Training ini juga diharapkan menjadi forum belajar bersama tentang paradigma, ideologi, prinsip, pendekatan, dan teknik-teknik pemberdayaan masyarakat. “program yang kita lakukan perlu dievaluasi. Karenanya, forum ini juga menjadi ajang refleksi partisipatif atas program pemberdayaan masyarakat yang selama ini sudah kita lakukan” kata Maghfur.

Ade Dedi Rohayana, selaku Ketua STAIN menandaskan bahwa pemberdayaan masyarakat yang dilakukan STAIN Pekalongan harus dimaknai sebagai upaya untuk memperjelas dan mengukuhkan konsep Rahmatan Lil’alamin. Sebagai perguruan tinggi yang bervisi “pelopor Perguruan Tinggi Agama Islam berbasis riset menuju kampus rahmatan lil ‘alamin, program Pengabdian masyarakat harus menjadi bagian integral visi ini.

Pada kesempatan yang sama, Anis mewanti-wanti agar penerima program jangan terjebak pada formalitas. “Kegiatan pemberdayaan masyarakat jangan diartikan sebagai kumpulan kegiatan, kalau ini terjadi, maka bantuan sebesar apapun akan dirasa kurang. Yang paling utama program ini sebagai upaya transformasi sosial,” himbau Kasi Penelitian.

Menurut Anis, Walisongo melakukan proses perubahan sosial dengan pendekatan budaya. Konteks lokalitas menjadi penting diperhatikan bagi pelaku pemberdayaan masyarakat. Konsep manunggaling kawulo gusti diterapkan dengan cara penyatuan konsep tuan dan hamba, (gusti dan kawulo). Bagi Anis, lahirnya konsep masyarakat dipicu oleh penyatuan antara tuan dan hamba. Konsep masyarakat memiliki sejarah yang cukup panjang. Karena sebelumnya, antara tuan dan hamba (gusti dan kawulo) belum menyatu. Proses sejarah panjang ini belum ada yang menteorisasikan. Mestinya, para penerima program mengikuti langkah Walisongo. Walisongo tidak boleh terjebak ‘teori luar”, melainkan melakukan langkah inovatif yang berbasis lokalitas, dengan melebur pada masyarakat, mengenali budaya rakyat, dan menyatu dengan realitas sosial, yang pada akhirnya rasa percaya diri rakyat tumbuh, karena aspek kemanusiaannya tersentuh.

Di akhir training, peserta workshop berkunjung ke Tombo, sebuah desa di kawasan tinggi Dieng bagian utara.  Peserta diajak menelusuri rangkaian launching Sistem Informasi Desa (SID) partisipatif di Desa Tombo, Bandar, Batang. Sebagai best practice,  laboratorium sosial keagamaan ini penuh inspirasi, yang dapat dijadikan rujukan bagi instansi dan masyarakat._(M@).