LPPM | IAIN Pekalongan

Islam Agama Ramah lingkungan

E-mail Print PDF

Oleh: Khoirul Basyar

Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, manusia dan alam memiliki kedudukan yang sama. Keduanya saling melengkapi, tidak saling merusak. Dalam diri manusia terdapat unsur alam, sehingga tidak heran jika manusia sering disebut sebagai micro-cosmos, alam kecil yang mewakili alam besar. Begitu juga sebaliknya, manusia mestinya memelihara alam agar alam tetap lestari.

Dalam Islam, prinsip utama berkenaan dengan relasi manusia-alam terjadi karena keseluruhan alam semesta itu memiliki karakteristik yang sama dengan alam, yaitu “muslim”. Menurut Al-Qur’an, alam semesta adalah “muslim” karena ia berserah diri kepada Allah. Melalui mekanisme tertentu, alam menampakkan dirinya sebagai simbol atau tanda Ketuhanan. Secara spiritual, manusia harus memandang alam semesta dan lingkungan yang serba teratur ini sebagai pertanda atau sebagai keajaiban yang menakjubkan, untuk selanjutnya diarahkan kepada makna terpenting yang tidak lain adalah pengakuan dan media penyatuan terhadap Tuhannya. Relasi Tuhan-manusia-alam ini terjalin secara bersamaan dalam realitas kehidupan manusia, bahkan tertuang dalam pola-pola pengetahuan kosmos secara umum.

Alam diciptakan Allah SWT untuk manusia, seperti ditegaskan di dalam Al-Qur’an: “Dialah Tuhan yang menciptakan apa yang ada di  muka bumi seluruhnya untuk kamu, kemudian Dia berkehendak (menciptakan) langit lalu dibuatnya tujuh langit dan Dia Maha Tahu atas segala sesuatu”. (Q.S. Albaqarah: 29)

Sebagai salah satu unsur yang membentuk dirinya, maka alam semesta menjadi bagian dari diri manusia sendiri, dan manusia diharapkan dapat menciptakan kamakmuran di bumi milik Allah itu, sebagaimana ditegaskan di dalam al Alqur’an: “Dia Yang telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memeperkenankan doa hamba-Nya”. (Q.S. Hud: 61)

Karena itu, Allah SWT melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi, di samping bumi seisinya milik Allah, maka kerusakan itu pun akan berakibat kerusakan bagi sumber kehidupannnya sendiri. Al-Qur’an menegaskan: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah diadakan perbaikan dan mohonlah kepada Tuhanmu dengan perasaan takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan”. (Q.S. Al-A’rāf:56)

Di dalam Alqur’an terdapat pula petunjuk yang berkaitan dengan advokasi pelestarian lingkungan hidup. Pertama: Alam semesta diciptakan bukannya tanpa tujuan. Firman Allah: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri dan duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali ‘Imrān: 190-191)

Menurut ilmu ekologi, memang tidak ada makhluk yang diciptakan sia-sia oleh Penciptanya (Khaliq). Kehidupan makhluk, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia saling terkait dalam satu lingkungan hidup. Bila terjadi gangguan terhadap salah satu jenis makhluk maka akan terjadilah gangguan terhadap lingkungan hidup secara keseluruhan.

Kedua, menghindari pengrusakan di bumi dan menjaga keseimbangan alam. Allah SWT berfirman: “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. Alqashash: 77)

Di dalam fiqih Islam juga terdapat doktrin menjaga lingkungan hidup dari pencemaran, yaitu adab (tata krama) bagi orang buang air kecil dan air besar (qādhi al-hājat). Pertama, tidak boleh membuang air kecil atau air besar di dalam air yang menggenang (al-mā’al-rākid) maupun di dalam air yang mengalir tetapi sedikit. Imam Nawawy menghukumi haram buang air kecil atau air besar di aliran air, seperti: selokan, parit, atau sungai, baik air tersebut diam (menggenang) maupun mengalir. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Janganlah salah seorang dari kalian buang air kecil di air yang tidak mengalir (menggenang)”.

Kedua, tidak boleh buang air besar atau air kecil di bawah pohon yang berbuah, baik di musim berbuah maupun di lin musim berbuah. Ketiga, tidak boleh buang air besar atau air kecil di jalan yang dilalui manusia. Keempat, tidak boleh buang air besar atau air kecil di tempat orang berteduh.

Ketentuan-ketentuahn hukum Islam di atas menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan kebersihan dan pemeliharaan terhadap lingkungan dari pencemar. Yang dimaksud pencemar adalah bila berpengaruh jelek terhadap lingkungan, dan lingkungan mempunyai penyimpangan akibat pencemar itu, seperti sampah, limbah rumah tangga, limbah industri dan sebagainya.

Karena itu, marilah kita bersikap ramah terhadap alam lingkungan di sekitar kita karena antara manusia dan alam lingkungan terdapat hubungan timbal-balik. Bila manusia ramah terhadap alam lingkungan, maka alam lingkungan akan lebih ramah kepadanya. Begitu pula sebaliknya, bila manusia tidak ramah terhadap alam lingkungan, maka alam lingkungan akan lebih tidak ramah kepada manusia.