Menemukan Kembali Indonesia

Print

Oleh: Musoffa Basyir-Rasyad

Era reformasi, yang telah melepaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan sentralistik-otoritarian yang semula dipercaya sebagai “jembatan emas” menuju kepada kehidupan yang lebih baik, pada kenyataannya kini hanya seperti lamunan yang jauh.

Indonesia saat ini adalah Indonesia yang sangat memprihatinkan. Pertama, jika dihitung berdasarkan ukuran bahwa orang miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2 dollar, maka kurang lebih ada 49% penduduk Indonesia masuk dalam garis kemiskinan. Kedua, lebih dari seperempat anak-anak Indonesia kekurangan gizi. Ketiga, seorang anak dari keluarga miskin memiliki kesempatan 20% lebih kecil untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama ketimbang seorang anak dari keluarga tidak miskin. Keempat, angka kematian bayi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (tahun 2007). Kelima, angka kematian ibu melahirkan sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih miskin dan terpencil. Keenam, jumlah penduduk Indonesia (tahun 2007) yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000. Sampai tahun 2007, tingkat kejadian malaria hingga 18,6 juta kasus per tahun. Untuk tuberkulosis (TBC), tingkat prevalensi mencapai 262 per 100.000 atau setara dengan 582.000 kasus setiap tahunnya (Laporan Seknas Fitra tahun 2010). Masih banyak lagi persoalan bangsa Indonesia yang bisa kita saksikan setiap hari melalui pemberitaan, seperti pejabat korup, konflik internal partai, konflik antar-etnik dan agama, konflik internal agama, gerakan pemisahan diri dari Indonesia, dan lain-lain.

Padahal, tidak diragukan lagi, Indonesia merupakan Negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah; kekayaan hutan, perkebunan, kelautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya. Sebagai salah satu contoh kekayaan Indonesia di bidang minyak, menurut data, Indonesia memiliki 60 ladang minyak, 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan  sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri (Sumber Data; Walhi, 2004). Secara ekonomis potensi minyak Indonesia tentu sangat menggiurkan. Blok Cepu, misalnya,  setiap harinya bisa menghasilkan sekitar 200.000 barel perhari. Jumlah itu dengan asumsi harga minyak US$60 perbarel, maka dalam sebulan bisa menghasilkan dana Rp 3,6  triliun atau Rp 43, 2 trilun setahun.

Inilah ironi yang dialami bangsa besar yang bernama Indonesia; Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau, termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni; Negara maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93 ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km2 atau hampir 25% panjang pantai di dunia; Negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia (terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku, menggunakan 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa tersebut; Negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia.

Ada yang salah dengan bangsa Indonesia, dan itu tiada lain karena “salah urus”, malpraktrik. Bagi rakyat, Indonesia ini ada namun berasa seperti tidak ada (Wujudhu ka’adamihi). Pergantian pemimpin dari satu periode ke periode lainnya belum mampu membawa angin segar bagi kebanyakan rakyat. Sebaliknya, Indonesia hanya menjadi surga bagi segelintir orang yang diuntungkan dari proses dan sistem yang tengah berlangsung.

Pertama, ternyata kita tidak berdaulat atas kekayaan yang kita miliki. Asset-asset negara dan  sumber daya alam Indonesia telah banyak dikuasai asing. Berdasarkan data dari Walhi, saat ini penguasaan minyak bumi Indonesia sebanyak hampir 90% dikuasai asing. Realita ini sangat kontras dengan isi pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Pasal itu seolah telah diganti, bahwa kekayaan alam yang ada di negeri Indonesia ini dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran pemilik modal, investor asing,  atau tengkulak yang sudah keterlaluan mengkhianati rakyat.

Kedua, ternyata pengeluaran Indonesia  saat ini, terlalu banyak dipakai untuk pembayaran kembali utang, sehingga tak cukup anggaran bagi kesehatan atau pendidikan. Utang Indonesia pasca krisis moneter, terjadi peningkatan sangat tajam. Utang luar negeri Indonesia hingga Maret 2011 sudah mencapai Rp 1.694,63 triliun. Jumlah ini meningkat Rp l7,78 triliun dibandingkan 2010 Rp 1.676,85 trilun. Utang jatuh tempo pemerintah pada 2011 ini mencapai Rp 110 triliun. Karena itu, biaya yang dipikul terbilang mahal. Saat ini, ’pelunasan’ utang mencapai sekitar 26% dari pengeluaran pemerintah. Akibatnya, belanja untuk pelayanan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan dikorbankan, diperkecil agar bisa membayar utang.

Ketiga, ternyata keserakahan tidak hanya menjadi watak bangsa asing, melainkan juga menjadi watak bangsa sendiri. Korupsi merajalela, tak pernah henti, sambung-menyambung, berjama’ah. Potensi kerugian Negara tentu sangatlah besar. Menurut penelitian yang dilakukan Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong dan Transparancy International di Jerman, ternyata Indonesia menempati posisi terkorup di Asia Pasifik: (1) Indonesia; (2) Kamboja; (3) Vietnam; (4) Filipina; (5) Thailand; (6) India; (7) Cina; (8) Taiwan; (9) Korea; (10) Macau; (11) Malaysia; (12) Jepang; (13) Hongkong; (14) Australia; (15) Singapura. Menurut data ICW, pada periode Januari-Juni 2010 saja, ditemukan 176 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 411 orang, baik pejabat negara, pegawai negeri, pengusaha dan masyarakat umum. Kasus ini berpotensi merugikan negara Rp. 2.102.910.349.050 (Kompas, 10 Maret 2011).

Keempat, ternyata sejak zaman Presiden Soeharto sampai Presiden SBY, sektor ekonomi menengah ke bawah tidak pernah dibangun dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, pemerintah malah memberikan proteksi, modal, dan lisensi kepada para pengusaha besar (konglomerat) yang sudah berubah menjadi kartel, dan menguasai jaringan usaha dari hulu sampai ke hilir. Pengusaha menengah ke bawah yang notabene jumlahnya banyak tak pernah mendapatkan sentuhan pemerintah, dan dibiarkan hidup dengan sendirinya. Sampai sekarang suku bank yang ditetapkan Bank Central (BI), yang diatas 14 persen, yang tidak mungkin dapat menopang usaha-usaha sektor riil.

Inilah situasi di mana Indonesia sedang mengalami psikologi pesimistik. Meskipun mereka memiliki wakil di DPR, suara mereka tak pernah terwakili. Rakyat  sering tak mampu menyampaikan keresahannya kepada para pejabat. Mereka lebih  banyak bersabar dan sering menyaksikan kemewahan hidup orang asing (dan bangsa sendiri yang serakah) yang mengambil keuntungan tanpa batas dari kekayaan di wilayahnya. Mereka hanya lebih banyak bersikap sabar.

Namun, jika kesabaran mulai habis, maka yang muncul adalah kejengkelan yang hal ini mudah menyulut  gejolak sosial. Fenomena terorisme, NII dan gerakan separatis di berbagai tempat tidak bisa dilepaskan dari adanya psikologi pesimistik ini. Berbagai eksperimentasi perlawanan/pembangkangan hampir bisa dipastikan akan terus berlanjut, bahkan akan semakin kritis, jika Indonesia tidak melakukan perubahan mendasar berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia yang kaya, yang bisa mensejahterakan rakyatnya. Dalam skala yang kecil, rakyat “dipaksa” untuk mencuri, menculik, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang. Seorang anggota Kapak Merah yang didor polisi berkata, “Biarlah saya ditembak mati. Habis saya cuma lulus SD. Cari kerja susah. Jadi merampok guna mendapatkan uang”.

Karena itu, agenda kepemimpinan bangsa Indonesia ke depan sangatlah berat, karena harus mewujudkan cita-cita kemerdekaan sejati, yang saat ini rasanya belum diraih. Perjuangan para pahlawan yang telah gugur belumlah usai, perlu dilanjutkan dengan perjuangan yang jauh lebih berat, karena “tembok penghalang” yang kini dihadapi sangatlah tebal (senjata, kuasa dan ilmu pengetahuan bersatu padu menjadi kekuatan raksasa yang siap menghancurkan apapun).

Dalam kaitan ini, agenda konkret yang bisa dilakukan ke depan adalah, pertama, membatasi kekuasaan perusahaan raksasa (modal swasta asing, modal negara asing & swasta dalam negeri). Kedua, memberantas KKN di seluruh BUMN dan birokrasi. Ketiga, mengusahakan penghapusan utang luar negeri. Di luar ketiga agenda ini, tentu saja masih banyak agenda-agenda lain yang harus dilakukan, yang pada intinya harus diorientasikan kepada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (suku, agama, ras, bahasa dan jenis kelamin).

AS, Inggris, Perancis, Belanda, dsb maju dan makmur karena mereka mengelola kekayaan alamnya sendiri (dan mereka juga menjadi investor besar di negara lain). Tak heran jika Anggaran Belanja Militer AS saja mencapai US$ 655 Milyar/tahun atau Rp 6.550 Trilyun/tahun sementara Anggaran Belanja Militer Indonesia cuma Rp 36 Trilyun saja. Kurang dari 1% anggaran AS! Bayangkan seandainya Indonesia mandiri dan mendapat tambahan Rp 3.000 trilyun dari hasil kekayaan alamnya sehingga APBN kita menjadi Rp 4.000 trilyun/tahun. Artinya ada US$ 138/bulan untuk setiap orang. Seluruh penduduk Indonesia bisa lepas dari garis kemiskinan versi Bank Dunia yang US$ 60/bulan. Indonesia bisa melunasi hutangnya yang Rp 1.600 trilyun dengan mudah. Indonesia tidak perlu menunggu-nunggu “investor asing” untuk membangun negerinya. Segala janji bahwa pendidikan murah, layanan Rumah Sakit murah, pembaruan alutsista, atau pun mensejahterakan rakyat itu hanya omong kosong belaka jika Presiden kita tidak mau mandiri mengelola kekayaan alam Indonesia. Indonesia tidak akan punya cukup uang selama hasil kekayaan alam kita yang menikmati justru kompeni-kompeni gaya baru yang didukung oleh pemerintah mereka.

Laku politik yang benar mungkin bisa mengatasi semua persoalan di atas. Namun, harap diingat, kesibukan kita berpolitik ternyata juga telah menguras energi sehingga kita tidak punya banyak waktu memikirkan hal-hal besar dalam kebudayaan. Politik tidak mengajari kita untuk mengerti jati diri kita sebagai bangsa, malah kian mengaburkan pengertian itu. Kita terpecah dan berjalan sendiri-sendiri, didorong kepentingan masing-masing, padahal kita bernaung di satu rumah Indonesia.

Dalam konteks ini, Indonesia juga tampaknya sedang berada dalam perebutan makna menghadapi “sisi gelap” globalisasi. Kubu pertama adalah mereka yang menolak globalisasi dan kembali menengok pada lokalitas. Hal-hal yang ada di tingkat lokal berupaya dioptimalkan serta menghindari sejauh mungkin interaksi dengan pihak-pihak di luar negara. Kubu kedua adalah mereka yang mencoba membangun sebuah globalisasi alternatif dengan berbagai perangkat kelembagaan alternatif. Kubu ketiga adalah mereka yang berusaha memengaruhi proses globalisasi yang tengah berjalan melalui mekanisme dan pengaturan kelembagaan yang telah ada. Meskipun pilihan yang diambil oleh masing-masing kubu akan membawa mereka kepada konsekuensi-konsekuensi yang berbeda, namun ketiganya dihadapkan pada tantangan yang sama. Ketiga pilihan tersebut akan membawa masyarakat sipil dalam “jalur pelayaran yang belum terpetakan” (unmaped course) mengingat minimnya stok pengetahuan yang telah diciptakan guna membimbing pilihan-pilihan tersebut untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik. Defisit pengetahuan adalah tantangan terberat yang dihadapi mereka yang menolak untuk bergabung dengan globalisasi neoliberal.