KOTA BATIK ATAWA KOTA LIMBAH ?

Print

KOTA BATIK ATAWA KOTA LIMBAH?

“Kota Batik”, demikian identitas Kota Pekalongan. Berbagai industri batik baik skala besar, menengah maupun kecil menghampar di desa-desa di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Tidak hanya pasar Jawa Tengah dan Nusantara saja, produk-produk yang dihasilkan industri batik Pekalongan bahkan sudah menembus pasar internasional. Pada tahun 2002, realisasi ekspor industri tekstil baik kain tenun maupun kain printing dan batik di Kabupaten Pekalongan tercatat ada 20.351.155,26 dolar AS. Produksi ini diekspor ke Nigeria, Saudi Arabia, Malaysia, Dubai, Amerika Serikat, Australia, dan Singapura (Muhammad Burhan, “Industri Tekstil Batik Dibayang-bayangi Aksi Protes Masyarakat”, dalam Harian Suara Merdeka, Minggu 29 Agustus 2004). Sementara itu, menurut data dinas Koperasi dan UKM Kota Pekalongan pada tahun 2003, terdapat 43.000 warga kota yang bekerja di sektor industri batik. Data-data tersebut menguatkan bahwa industri batik adalah sektor andalan Pekalongan yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan dapat mensejahterakan masyarakat Pekalongan yang berusaha di sektor ini.

Namun demikian, berkah “industri batik” Pekalongan ternyata harus dibayar mahal oleh masyarakat, terutama dampak negatif pencemaran limbah industri yang dihasilkan. Pencemaran yang terjadi di Pekalongan akibat industri batik ini bisa dikatakan sudah sampai pada tahap memprihatinkan dengan zat kimia yang sudah berada di ambang batas kewajaran. Sebagai contoh, hasil uji laboratorium yang dilakukan masyarakat Desa Karangjompo, Tirto, Kabupaten Pekalongan bekerjasama dengan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Cito terhadap air di sungai tersier desa mereka menunjukkan:

 

 

ZAT KIMIA

SATUAN

BATAS MAX

PP. 82/2001

HASIL

UJI LAB

1

Nitrat (NO3)

mg/l

 

3,74

2

NH3-N

mg/l

 

14,45

3

Besi

mg/l

 

111,65

4

Mangan

mg/l

 

2,65

5

Zeng

mg/l

2

0,47

6

Klorida

mg/l

 

248,15

7

Sulfat

mg/l

 

808,60

8

Detergen

mg/l

 

0,275

 

Amoniak (NH3) adalah senyawa antara satu atom Nitrogen dan tiga atom Hidrogen. Jumlah Amoniak (NH3) yang tinggi, yaitu 14,45 mg/l, dalam air akan menyebabkan tanaman nampak subur tapi tidak baik bagi organisme lain, sebab amoniak yang banyak akan diubah menjadi nitrat oleh bakteri. Maka, tingginya nitrat yaitu 3,74, ada kaitannya dengan tingginya Amoniak. Akibat proses perubahan dari amoniak menjadi nitrat akan menghasilan nitrit dalam air. Nitrat yang masuk ke dalam perut ketika dikonsumsi akan berubah menjadi nitrit dalam perut sehingga menimbulkan keracunan dengan indikasi muka biru dan bisa menyebabkan kematian. Dengan tingginya Amoniak berarti jumlah Nitrogen dalam air tersebut juga tinggi. Kandungan Nitrogen dalam air sebaiknya di bawah 0,30 mg/L.Zat besi (Fe) dan Mangan (Mn) sangat tinggi. Fe adalah salah satu jenis logam berat. Begitu pula Mn. Jika air mengandung zat besi dan mangan yang cukup tinggi, maka air tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.

Clorida dan Sulfat adalah ion-ion yang menyebabkan kesadahan air yang bersifat tetap atau permanen. Kehadiran ion-ion ini biasanya disebabkan oleh keadaan geologi tanah di sekitarnya. Kesadahan tidak menguntungkan. Air yang dianggap bermutu tinggi adalah air yang tingkat kesadahannya rendah. Untuk air minum kesadahan di bawah 250 mg/l masih dapat diterima, di atas 500 mg/l akan merusak kesehatan. Sementara dari hasil uji laboratorium di atas nilai kesadahan yang disebabkan oleh sulfat (SO4) mencapai 808,60 mg/l.

Dampak limbah batik terhadap kehidupan tidak saja menimbulkan penyakit bagi manusia, tetapi juga banyak hewan air yang mati. Kita semua tahu, warga Pekalongan yang biasa memanfaatkan Kali Banger dan Asem Binatur untuk keperluan mandi dan mencuci, mengeluh bahwa air sungai tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan tersebut. Pasalnya, setiap musim kemarau tiba, air sungai berbau menyengat tajam. Kali Banger dan Asem Binatur merupakan dua di antara sungai-sungai di Pekalongan yang biasa digunakan untuk membuang limbah industri batik. Warga di sekitar Kali Banger mengungkapkan bahwa Kali Banger yang biasanya berair relatif jernih, sejak awal musim kemarau berubah menjadi hitam seiring dengan debit air yang menyusut tajam. Di samping warna hitam yang terlihat, baunya juga sangat menyengat. Limbah dari industri batik banyak yang dibuang ke sungai dan tidak mengalir ke laut akibat tidak ada gelontoran air dari hulu. Kondisi ini semakin parah di saat tidak ada hujan yang mengguyur karena limbah industri batik yang ada mengendap.

Selain sungai, pembuangan limbah cair industri batik ada pula yang disalurkan lewat selokan yang berujung ke saluran sanitasi pemukiman yang lebih besar (prasarana sanitasi pengumpulan limbah pemukiman). Karena itu, pada gilirannya, limbah cair tersebut akan tercampur dengan limbah cair rumah tangga dan akan mengumpul di tempat itu. Kekhawatiran bahwa limbah cair akan merembes ke tanah di sekitar pemukiman dapat merusak air sumur.

Menghadapi problem pencemaran ini, Pemerintah Kota/Kab Pekalongan belum mampu berbuat banyak. Menurut Abdurrahman Nuh (Anggota DPRD Kabupaten Pekalongan), APBD 2005 Kabupaten Pekalongan untuk sektor lingkungan hidup hanya sebesar 1,6% dari total APBD Kabupaten Pekalongan sejumlah 456 milyar. Jumlah sekecil itu, lebih banyak dialokasikan untuk biaya administrasi, gaji pegawai dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak berhubungan langsung dengan penanganan pencemaran limbah batik. Di dalam APBD tersebut, hanya sekitar 500.000.000 saja yang langsung berhubungan dengan penanganan pencemaran limbah batik. Jumlah tersebut jelas tidak memadai untuk bisa menyelesaikan persoalan limbah batik yang mayoritas diderita oleh warga di banyak desa di Pekalongan. Untuk membangun satu buah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) saja dibutuhkan tidak kurang lebih dana sebanyak 1 milyar. IPAL bersama pernah dibangun Pemda Kodya Pekalongan pada tahun 1996/1997 yang berlokasi di Kelurahan Jenggot Kecamatan Pekalongan Barat. Namun, IPAL bersama ini tidak lagi berfungsi, karena sejumlah peralatannya hilang dicuri orang.

Di sisi yang lain, para pengrajin batik baik yang berskala rumah tangga (kecil) maupun yang berskala menengah dan besar, pada umumnya masih belum/tidak mau melengkapi dengan instalasi pemprosesan limbah buangan kimia cair tersebut. Alasan yang diajukan oleh industriawan batik ini adalah karena untuk membangun, mengoperasikan dan memelihara instalasi penanganan limbah ini diperlukan biaya yang sangat mahal yang tidak akan mungkin dapat dibiayai dan diatasi oleh perusahaan sendiri. Pernah muncul gagasan pentingnya membangun fasilitas penang­anan limbah yang dapat diman­faatkan secara bersama-sama (secara kolektif) oleh para industriawan batik. Tetapi, problemnya adalah, untuk bisa melakukan itu mereka perlu merelokasi usaha batiknya ke lokasi yang dekat dengan bangunan yang dimaksud. Ternyata para pembatik enggan untuk memindahkan usahanya, dengan alasan bahwa kepindahan lokasi ini berimplikasi terhadap pindahnya operasi industri ke lokasi yang jauh dari domisili mereka maupun asal tenaga kerja yang mereka perlukan.

Lebih ironis lagi, Pemerintah Kota/Kab Pekalongan tidak melakukan kontrol ketat terhadap keberadaan industri-insdustri di Pekalongan. Data menunjukkan, sebanyak 90% perusahaan pencucian jeans dan rumah industri batik tradisional di Pekalongan tidak memiliki izin. Limbah yang dihasilkan rumah industri itu pun tergolong paling mendominasi jika dibanding jenis industri lainnya. Setiap hari, sebagian dari 50 perusahaan pencucian jeans dan ratusan rumah industri batik di Pekalongan melakukan pencucian dan membuang limbah ke sungai-sungai, terutama di daerah kota dan selatan Pekalongan. Akibatnya, aroma tidak sedap dari sungai menyengat dan air yang mengalir juga berwarna-warni.

Padahal, jika Pekalongan telah mengambil “Kota Batik” sebagai identitas, maka pemerintah Pekalongan seharusnya membuat berbagai kebijakan yang menyangkut berbagai dampak industri batik, baik positif, lebih-lebih negatif. Enak di slogan, tidak enak menangani limbahnya. [Ditulis kembali oleh MB dan AZ dari berbagai sumber dan obrolan warga Desa Karangjompo, Tirto, Kabupaten Pekalongan]