LPPM | IAIN Pekalongan

Menggagas Fiqih Lingkungan

E-mail Print PDF

Oleh: Miftahul Ula

Krisis lingkungan yang terjadi di dunia ini sejatinya lebih disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Penggundulan hutan, penebangan liar, eksploitasi alam tanpa batas dan pencemaran telah menyebabkan banjir bandang di mana-mana, erosi tak terbendung, polusi mengepung setiap saat, gempa, dan lain-lain. Mungkin di situ ada faktor alam, tetapi kalau manusia benar-benar memelihara, menjaga dan memperlakukan alam sebagaimana mestinya, tentu bencana dapat dicegah.

Bagaimana fiqih Islam memandang lingkungan? Meski bukan sesuatu yang baru, istilah fiqih lingkungan barangkali istilah yang masih asing bagi kita. Dalam khazanah fiqih, termasuk dalam kitab kuning, pembahasan mengenai lingkungan dapat kita temui dengan mudah. Memang, harus diakui, pembahasan fiqih lingkungan masih belum mendapatkan perhatian besar dari kalangan ulama sehingga keberadaannya cenderung diabaikan dan dilupakan.

Jika kita cermati sejarah Rasulullah SAW, kita akan temukan gambaran kepedulian Rasulullah terhadap masalah-masalah lingkungan, terutama lingkungan yang merupakan milik umum atau publik. Misalnya, Rasulullah memberikan nasehat kepada para sahabat yang hendak berangkat perang agar mereka tidak menebang atau memotong pepohonan secara sembarangan tanpa ada kepentingan yang jelas. Pernah pula diriwayatkan bahwa pada suatu saat seorang sahabat mengambil telur burung di sarang sebuah pohon, lalu induk burung itu berputar-putar di atas pohon itu karena gundah. Melihat peristiwa itu, Rasulullah pun memerintahkan orang itu untuk mengembalikan telur burung tersebut ke sarangnya. Terlepas dari motif sahabat tersebut, jelas bahwa Rasulullah tidak menghendaki terjadinya perusakan alam dan keseimbangan ekosistem.

Tidak dapat dibantah lagi, bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan rahmat bagi semesta alam, tak terkecuali hewan dan tumbuh-tumbuhan. Islam mengajarkan bahwa kualitas iman seseorang dapat dikukur dari seberapa sering ia meninggalkan sesuatu yang sia-sia, termasuk merusak alam dan lingkungan tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Di dalam kitab-kitab fiqih, ada beberapa landasan hukum yang bisa dijadikan pegangan bagi kelestarian lingkungan. Pertama, larangan membuang air besar dan kecil di atas air yang tergenang (al-ma’u al-rakid) atau air yang yang tidak mengalir. Larangan ini sebenarnya mempunyai implikasi sosial yang sangat besar, karena air seni ataupun kotoran (fases) adalah sesuatu yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh dan banyak mengandung bakteri penyakit. Jika dibuang di tempat air tergenang, maka hal itu dapat menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar di samping bau yang tidak sedap.

Dengan demikian, larangan tersebut sebaliknya mengandung perintah agar kita mengalirkan air. Dengan mengalirkan air berarti kita juga mengalirkan dan membuang kotoran, bakteri atau penyakit yang ada dalam air tersebut. Inilah salah satu hikmah mengapa air yang mengalir (al-ma’u al-jari) menjadi salah satu syarat kesucian air meskipun belum mencapai batas dua kulah (al-ma’u al-katsir).

Kedua, larangan membuang air besar dan kecil di tempat yang biasa digunakan untuk bertemunya orang-orang dan di bawah pepohonan yang sedang berbuah. Karena, orang-orang yang berkepentingan di tempat tersebut akan terganggu dengan bau yang tidak sedap bahkan bisa jadi mereka akan terkena penyakit dari bakteri-bakteri yang terbawa bersama angin. Larangan ini menegaskan bahwa Islam sangat menghargai kepentingan umum dan pentingnya etika dalam pergaulan. Adapun larangan membuang air besar dan kecil di bawah pohon yang sedang berbuah menyebabkan orang enggan mengambil buah di pohon yang di bawahnya terdapat kotoran. Atau, jika buah tersebut jatuh dan terkena kotoran itu maka orang akan jijik untuk mengambilnya.

Ketiga, larangan untuk membuang air besar dan kecil di lubang ataupun tempat tinggal binatang. Dari sisi mistis, larangan ini dikarenakan konon lubang tersebut adalah tempat tinggal para jin. Tapi yang jelas bahwa lubang yang ada di sekitar kita adalah rumah ataupun tempat tinggal binatang seperti semut, katak, ular, kepiting darat, dan sebagainya. Sangat dimungkinkan kotoran itu akan mengganggu dan menyakiti binatang-binatang tersebut. Padahal Islam juga mengajarkan bahwa kita tidak boleh semena-mena terhadap binatang bahkan kita dianjurkan untuk menampakkan kasih sayang terhadap mereka, terhadap anjing sekalipun. Bukankah kita telah akrab dengan kisah seorang wanita pelacur Bani Israel yang mendapatkan rahmat Allah disebabkan ia memberi minum pada seekor anjing yang sedang kehausan? Di samping itu, larangan ini pun dapat menjauhkan kita dari marabahaya; bisa jadi binatang yang ada dalam lubang itu akan marah dan menyerang bahkan membahayakan diri kita.

Inilah beberapa aturah dalam fiqih yang bisa menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat menjaga keseimbangan alam dan ekosistem. Ini berarti, kita harus menjaga lingkungan dari berbagai pencemaran baik udara, tanah, ataupun air. Karena alam yang kita rusak akan  marah dan menjadi “bumerang” bagi kita. Adanya berbagai bencana dan musibah yang menimpa manusia sebenarnya merupakan akibat atau hasil dari perilaku manusia yang telah merusak dan mengeksploitasinya tanpa terkendali.

Dunia yang kita huni sekarang ini merupakan pinjaman dari anak cucu kita. Karena itu, menjaga kelestarian alam merupakan tanggung jawab kita semua. Hal itu dapat dimulai dari hal-hal kecil di sekitar kita, misalnya dengan cara membersihkan selokan, dan tidak membuang sampah bukan pada tempatnya. Ke depan, kita memerlukan fiqih yang lebih luas lagi dari itu. Tidak hanya sebatas persoalan yang menyangkut ritual keagamaan, tetapi juga lebih dapat menyentuh persoalan-persoalan sosial-kemanusiaan.