Bias Jender dalam Bahasa Arab

Print

Oleh: Musoffa Basyir-Rasyad, Mubarok dan Mohamad Fateh

Perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam sistem bahasa Arab telah menimbulkan banyak masalah. Pertama, pengguna bahasa Arab akan selalu terikat pada aturan perbedaan jenis kelamin ini yang sangat mungkin tidak bisa mewakili pemikiran si penuturnya. Pada posisi ini, aturan bahasa Arab telah ”memaksa” pikiran seseorang ”terpenjara” oleh sistem bahasa yang tersedia, dalam hal ini bahasa Arab. Sebagai contoh, Allāh (الله), Tuhan umat Islam, dikonsepsikan secara teologis bukanlah Dzat yang memiliki jenis kelamin laki-laki maupun perempuan karena Ia memiliki sifat yang berbeda dengan makhluk-Nya. Namun demikian, justeru Tuhan sendirilah yang memilih kosa kata ”الله” untuk merujuk diri-Nya yang secara bahasa bisa dimaknai sebagai berjenis kelamin laki-laki dan karena itu seringkali kata ganti yang digunakan untuk kata “الله” adalah kata ganti ”هو” yang notabene disebut sebagai kata ganti mufrād mużakkar. Dengan kata lain, perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam bahasa Arab memiliki kekurangan karena tidak bisa mewakili realitas lain di luar dikotomi tersebut.

Kedua, terwakilinya perempuan oleh laki-laki, jika keduanya dinyatakan dalam satu tanda bahasa. Sebagai contoh, jika seorang penutur hendak menyampaikan ucapan salam pada penerima pesan yang di situ ada unsur laki-laki dan perempuan maka cukup dikatakan ”السلام عليكم”, tidak boleh “السلام عليكن”, dan tidak perlu “السلام عليكم وعليكن”. Perlu diketahui, ”كم” merupakan tanda baca yang merujuk ”kalian laki-laki”, sedangkan ”كن” merujuk pada “kalian perempuan”. Dengan kata lain, keterwakilan semacam ini telah meng ilangkan ciri-ciri tanda bahasa perempuan dalam ciri-ciri tanda bahasa laki-laki.

Ketiga, penandaan kata benda perempuan dengan tanda tā’ marbūţah (ة) tidak selalu bersifat konsisten. Sebagai contoh kata ”شمس” dinyatakan sebagai kata yang berjenis kelamin perempuan, meskipun kata tersebut tidak memiliki tanda tā’ marbūţah (ة), demikian juga kata هند, زينب, dan lain-lain. Sebaliknya, kata خليفة dinyatakan berjenis kelamin laki-laki padahal ia memiliki tanda tā’ marbūţah (ة) yang secara umum sebagai tanda perempuan. Dengan kata lain, inkonsistensi semacam ini dapat menyulitkan bagi penutur bahasa lain di luar bahasa Arab dalam mengenali kosakata Arab berdasarkan jenis kelaminnya. Dalam konteks ini, para linguis Arab kemudian membuat sejumlah kaidah mengenai berbagai jenis mu’annaś.

Keempat, tā’ marbūţah (ة) ternyata juga digunakan sebagai ciri perempuan pada realitas yang sesungguhnya tidak berjenis kelamin, tepatnya tidak berakal, seperti pada kata خريطة, نافذة, مدرسة, مكتبة, محطة, dan lain-lain, sebaliknya kata-kata seperti بيت, باب, كرسي, مسجد, مكتب, dan lain-lain tidak diberi tanda tā’ marbūţah (ة). Dengan kata lain, pemberian tanda tā’ marbūţah (ة) sebagai ciri perempuan atau tanpa tā’ marbūţah (ة) sebagai ciri laki-laki pada obyek atau realitas yang sesungguhnya tidak memiliki jenis kelamin atau tidak berakal telah mengaburkan tujuan pembatasan jenis kelamin berdasarkan ciri tā’ marbūţah (ة).

Dalam kajian linguistik, persoalan semacam ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan budaya. Hal ini sebagaimana dikatakan Chaer (1995: 4), bahwa bahasa bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya. Sebabnya adalah, bahasa sebenarnya merupakan produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Karena itu, setiap bahasa memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya. Pertanyaannya kemudian adalah: kepentingan budaya seperti apa yang ada di balik perbedaan jenis kelamin pada bahasa Arab tersebut? Apakah perbedaan semacam itu mencerminkan bahwa bahasa Arab menerapkan semacam sektarianisme-rasialistik terhadap perempuan?

Naṣr Ḥāmid Abū Zayd (2003: 4-6.) menyatakan bahwa pembedaan kata benda Arab feminin dengan kata benda maskulin sama dengan kasus pembedaan kata benda Arab (الاسم العربي) dengan kata benda non-Arab (الاسم العجمي) dari segi nilai klasifikasinya. Dijelaskan Abū Zaid, kata benda Arab dapat diberi tanda tanwīn (bunyi ”nūn” pada akhir kata benda dalam level pengucapan dan tidak dalam level penulisannya), seperti Muḥammadun, ’Aliyyun, dan rajulun manakala dalam keadaan rafa’, begitu juga ketika dalam keadaan nashb (Muḥammadan, ’Aliyyan) dan jarr (Muḥammadin, ’Aliyyin). Akan tetapi, bunyi ”nūn” itu tidak berlaku pada kata benda non-Arab, seperti ”Bush”, ”Ibrāhim”, dan lain-lain. Menurut Abū Zaid, ini membuktikan adanya klasifikasi nilai yang dapat memberikan posisi superioritas kepada orang Arab, dan inferioritas kepada orang lain yang berasal dari bangsa lain. Dalam kasus pembedaan mużakkar dan mu’annaś, Abū Zaid mengatakan bahwa memang benar ada feminin ḥaqīqī dan feminin majāzī, tetapi pembedaan tersebut tidak meng indarkan bahwa feminin majāzī harus tunduk kepada setiap mekanisme klasifikasi yang dipatuhi oleh feminin ḥaqīqī. Pada sisi yang lain, menurutnya, tidak ditemukan pembedaan substansial antara maskulin ḥaqīqī dan maskulin majāzī. Hal ini menggambarkan bahwa ”maskulinitas” adalah pokok yang merupakan subyek, sedangkan ”feminitas” adalah cabang yang tidak mempunyai kemampuan sebagai subyek. Karena itu, bisa dipahami, jika bahasa Arab seringkali memperlakukan bentuk plural sebagai ”plural maskulin” (جمع المذكر), bahkan walaupun secara formal yang dirujuknya adalah sekelompok perempuan, dengan satu syarat bahwa sedikitnya ada satu orang laki-laki dalam kelompok itu. Begitulah, satu orang laki-laki membuat sekelompok perempuan itu menjadi tidak berarti. Hal ini kemudian dipolakan dalam bentuk plural maskulin (جمع المذكر), bukan dalam bentuk plural feminin (جمع المؤنث).

Pemilihan istilah mużakkar (مذكر) untuk laki-laki dan mu’annaś (مؤنث) untuk perempuan pun bisa jadi sebagai sesuatu yang bias jender. Kata مذكر berasal dari akar kata ذكر yang secara harfiah berarti ”mengisi, menuangkan”, juga bisa berarti ”menyebutkan, mengingat”. Sedangkan مؤنث berasal dari akar kata أنث yang memiliki arti ”lembek (tidak keras), lemas, halus”. Makna kultural dari masing-masing kata tersebut dinilai bias jender, sebab perempuan lebih berkonotasi sebagai obyek ketimbang subyek dan karena itu bersifat inferior (lembek, halus, dan lemas), sementara laki-laki berkonotasi sebagai subyek dengan sifat-sifat superior (mengisi, menuangkan, mengingat, menyebutkan).

Tā’ Marbūţah

Jika para linguis Arab mengatakan bahwa, jika ada tā’ marbūţah pada kata benda yang bermakna sifat (ism fā’il, misalnya) diidentifikasi sebagai “pasti” mu’annaś, dan jika tidak ada tā’ marbūţah pada jenis kata yang sama sebagai mużakkar, maka hal itu belum bisa menjelaskan fenomena munculnya kosa kata seperti التلعابة dan التلقامة. Kedua kata ini bukan merupakan nama orang yang kebetulan berjenis kelamin perempuan, namun kata yang menunjukkan sifat seseorang. Meski memiliki tanda tā’ marbūţah, kedua kata tersebut ditetapkan sebagai mużakkar. Ditinjau dari segi makna, التلعابة mengandung arti “laki-laki yang banyak bermain”, sementara التلقامة mengandung arti “laki-laki yang banyak menyantap makanan lezat”. Kandungan makna yang sama tidak ditemukan dalam bentuk mu’annaś. Dikatakan para linguis, tā’ marbūţah pada kedua kata tersebut merupakan lil-mubalagah (untuk melebih-lebihkan). Dengan kata lain, ada perbedaan fungsi tā’ marbūţah. Secara sosial, kedua kata ini bisa dimaknai bahwa perempuan tidak seharusnya melakukan hal-hal yang menjadi milik laki-laki, yaitu “banyak main”, dan “banyak makan makanan lezat”. Inilah di antara bentuk-bentuk ketidakadilan jender, karena secara sosial, sifat-sifat seperti itu sejatinya tidak hanya menjadi “monopoli” laki-laki, melainkan juga “perempuan”. Dengan kata lain, kedua kata tersebut telah menempatkan (mengkonstruksi) pelabelan (stereotyping) yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Dilihat dari ketersediaan struktur bahasa Arab, kosa kata اللاعب (untuk laki-laki) atau اللاعبة (untuk perempuan), dan اللاقم (untuk laki-laki) atau اللاقمة (untuk perempuan) terasa lebih berkeadilan karena sifat-sifat tersebut dimiliki secara bersama baik laki-laki maupun perempuan. Kemungkinan menggunakan struktur yang lebih adil bagi laki-laki dan perempuan semacam itu tidak digunakan ketika sudah menyangkut hal-hal yang mubalagah (melebih-lebihkan).

Kesimpulan semacam ini kian kuat karena ditemukan pula kata مكسال dan مكثار yang notabene tidak bertanda tā’ marbūţah tetapi ditetapkan sebagai mu’annaś. Kata مكسال mengandung arti “perempuan yang sangat malas”, sementara kata مكثار mengandung arti “perempuan yang banyak bicara/bawel”. Kedua bentuk kata ini juga termasuk mubalagah (melebih-lebihkan). Dalam kasus ini, bahasa Arab juga tidak menyediakan makna yang sepadan dengan kedua kata tersebut untuk kategori mużakkar. Dengan kata lain, citra negatif selalu dilekatkan kepada perempuan dan merupakan hasil konstruksi karena sifat seperti itu sejatinya bisa dimiliki laki-laki dan perempuan. Sementara citra positif selalu lekat dengan laki-laki seperti pada contoh التلقامة dan التلعابة pada penjelasan di atas.

Contoh lain, adalah kata قتول. Kata ini, oleh para ahli linguis ditetapkan sebagai mu’annaś, kendati (sekali lagi) tidak bertanda tā’ marbūţah. Kata ini merupakan bentuk mubalagah berwazan فعول. Kata ini mengandung arti “perempuan pembunuh yang sangat kejam”. Hal yang sama dengan kasus-kasus sebelumnya juga tidak ditemukan padanan makna untuk kosa kata mużakkar. Memang bahasa Arab menyediakan struktur yang memungkinkan rasa adil bagi laki-laki dan perempuan dengan mengatakan قاتل (pembunuh laki-laki), قاتلة (pembunuh perempuan) atau ظالم (laki-laki penganiaya), ظالمة (perempuan penganiaya). Namun, kedua bentuk alternatif tersebut tidak dapat mengalahkan makna kosa kata قتول karena ia menggunakan bentuk mubālagah. Jadi, sesuatu yang “melebih-lebihkan” dalam kasus-kasus di atas sangat bias jender. Lebih mencengangkan lagi, ditemukan pendapat yang mengatakan kata قتول sebagai mużakkar, namun bermakna مقتول (laki-laki yang dibunuh), bukan “laki-laki pembunuh yang sangat kejam” sebagaimana قتول yang dianggap sebagai Mu’annaś (yang bermakna “perempuan pembunuh yang sangat kejam”).

Padahal, para linguis juga sebenarnya telah menetapkan bahwa kata benda berwazan فعولdan مفعال pada dasarnya adalah bisa mu’annaś dan juga bisa mużakkar sebagaimana nanti akan dijelaskan. Di sini, penting kiranya disebutkan salah satu contoh karena masih ada kaitan dengan kata قتول. Disebutkan bahwa kata ظلوم bisa dianggap mużakkar dan juga bisa mu’annaś. Di satu sisi, kata ini bisa mewakili keadilan laki-laki dan perempuan dalam bentuk mubalagah. Namun, perlu diingat, komponen makna قتول (sebagai mu’annaś=perempuan pembunuh yang sangat kejam) memiliki bobot yang lebih kuat dibandingkan dengan kata ظلوم, bukan dari sisi mubalagahnya, melainkan dari sisi makna dasar masing-masing kedua kata tersebut. Secara makna, kata قتل dengan segala aktivitasnya lebih berdampak buruk daripada ظلم. Kata قتل berpretensi tidak hanya menyakiti orang lain tetapi juga sampai pada “penghilangan nyawa”, sementara kata ظلم dalam berbagai aktivitasnya hanya berpretensi pada “menyakiti” saja.

Secara struktur, bahasa Arab sebenarnya menyediakan bentuk yang memungkinkan terwujudnya rasa keadilan jender, yaitu terdapatnya cara membuat satu konsep pembentukan kata mużakkar dan mu’annaś. Ambil contoh, kata مسلمة (mu’annaś) dan مسلم (mużakkar). Pembentukan kata mu’annaś dilakukan dengan cara menambahkan tā’ marbūţah pada bentuk mużakkar. Secara semantis, kedua bentuk kata tersebut (mu’annaś dan mużakkar) tidak memiliki perbedaan makna.
Hanya saja, cara seperti itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk sub-ordinasi terhadap perempuan karena proses pembentukan kata benda mu’annaś dianggap sebagai pengembangan dari bentuk mużakkar. Hal ini berlaku karena di kalangan para linguis terdapat suatu kaidah “asal kata itu mużakkar, sementara kata mu’annaś adalah cabang dari mużakkar”. Dengan demikian, tidak akan terbentuk kata مسلمة jika tidak dikenali terlebih dahulu bentuk mużakkar sebagai asal dari kata tersebut. Dalam teologi disebutkan pula adanya keyakinan bahwa terciptanya perempuan (Hawa) dari tulang rusuk laki-laki (Nabi Adam as).

Alif Tā’nīs Maqūrah dan Alif Ta’niś Mamdūdah

Alif ta’niś maqṣūrah dan alif ta’niś mamdūdah sebagai tanda mu’annaś tidak jauh berbeda dengan persoalan asal dan cabang dalam suatu suku kata sebagaimana yang terjadi pada tā’ marbūţah tambahan seperti pada kasus مسلمة dan مسلم. Dalam hal ini, عطشى merupakan pengembangan dari عطشان, صفراء merupakan pengembangan dari أصفر. Dengan kata lain, tidak akan ada kata عطشى dan صفراء jika sebelumnya tidak terdapat kata عطشان dan أصفر.

Huruf

Huruf dikategorikan mużakkar apabila huruf itu berdiri sendiri, akan tetapi jika huruf-huruf tersebut mengandung arti maka dianggap mu’annaś. Ini mengingatkan pada budaya Arab yang mengharuskan adanya muhrim bagi perempuan ketika bepergian, sementara laki-laki tidak perlu pendamping.

Nama Daerah

Setiap nama-nama daerah dianggap mu’annaś jika yang dimaksud kota, akan tetapi dianggap mużakkar jika dimaksudkan sebagai negara. Nama-nama suku dan bangsa itu mu’annaś dan di-mużakkar-kan apabila dimaksudkan untuk nama wilayah. Ini bisa diartikan bahwa dunia perempuan lebih kecil dari dunia laki-laki.

Isim zharaf

Isim zharaf seperti جانب, تحت, عند dikategorikan mu’annaś, sementara قدام، وراء، أمام dikategorikan sebagai laki-laki. Secara semantik, isim-isim dhorof yang mu’annaś menunjukkan makna yang identik dengan posisi “di samping”, “di bawah”, dan “di sisi”, sementara isim-isim dhorof mużakkar memiliki makna “di depan”, “di belakang”. Ini bisa diartikan bahwa posisi perempuan berada di antara peran yang dimainkan oleh laki-laki.

Nama-Nama Gigi

Nama gigi dikatagorikan mu’annaś kecuali اضراس، انياب. Keduanya berarti gigi graham dan gigi taring. Keduanya dianggap mużakkar dikarenakan Keduanya termasuk gigi yang paling kuat diantara gigi yang lainnya. Ini bisa diartikan bahwa laki-laki identik dengan medan semantik “kuat”, “tajam”, dan sejenisnya. 

Nama-Nama Jari Tangan

Nama-nama jari tangan semuanya mu’annaś kecuali الإبهام، . Contohnya: سبابة, بنصير, حنصير, وسطى . kata ابهام dianggap mużakkar karena bentuk jari ini adalah jari yang paling besar di antara jari-jari yang lainnya.

Jamak Taksir

Semua jamak taksir selain manusia adalah mu’annaś. Ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi ”Kullu jam’in mu’annaś” (setiap kata plural/jamak dikategorikan sebagai mu’annaś). Ini bisa diartikan bahwa perempuan identik dengan sesuatu yang tidak beraqal atau ciri-ciri lain manusia pada umumnya.

Seks dalam Bahasa Arab

Hal menarik lain yang perlu dicermati dalam persoalan perbedaan kata benda mu’annaś dan mużakkar ini adalah persoalan yang menyangkut seks. Ternyata, dalam persoalan seks, perbedaan mu’annaś dan mużakkar dalam kosa kata Arab menimbulkan adanya kerancuan atau ambiguitas. Ambil contoh, kata فرج diidentifikasi sebagai mużakkar, padahal dalam kenyataannya kata ini mengandung arti benda yang dimiliki perempuan, sementara kata حشفة diidentifikasi sebagai kata benda mu’annatas padahal dalam kenyataannya kata tersebut mengandung arti benda yang dimiliki laki-laki. Dengan demikian, inkonsistensi mudzakar dan mu’annatas ini tidak hanya terjadi pada persoalan jender, melainkan juga seks.